Senin, Agustus 06, 2012

Biarkan Tuhan Menilaimu (Catatan Mother Theresa)

Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud-maksud buruk di balik perbuatan baik yang kau lakukan. Tetapi, tetaplah berbuat baik.
Terkadang orang berpikir secara tidak masuk akal dan bersikap egois. Tetapi, bagaimanapun juga, terimalah mereka apa adanya.

Apabila engkau sukses, engkau mungkin akan mempunyai musuh dan juga teman yang iri hati atau cemburu. Tetapi teruskanlah kesuksesanmu itu.

Apabila engkau jujur dan terbuka, orang lain mungkin akan menipumu. Tetapi, tetaplah bersikap jujur dan terbuka.

Apa yang telah engkau bangun bertahun-tahun lamanya, dapat dihancurkan orang dalam satu malam saja. Tetapi, janganlah berhenti dan tetaplah membangun.

Apabila engkau menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati, orang lain mungkin akan iri hati kepadamu. Tetapi, tetaplah berbahagia.

Kebaikan yang kau lakukan hari ini, mungkin besok dilupakan orang. Tetapi, teruslah berbuat baik.

Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki, dan itu mungkin tidak akan pernah cukup. Tetapi, tetap berikanlah yang terbaik.

Sadarilah bahwa semuanya itu ada di antara engkau dan Tuhan. Tidak akan pernah ada antara engkau dan orang lain. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikir atas perbuatan baik yang kau lakukan. Tetapi percayalah bahwa mata Tuhan tertuju pada orang-orang jujur dan Dia sanggup melihat ketulusan hatimu.

Mother Theresa.

Jumat, Juni 04, 2010

Dimana Letak Bahagia Anda?

"Tempat untuk berbahagia itu ada di sini. Waktu untuk berbahagia itu kini. Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia" - Robert G. Ingersoll

Apakah saat ini Anda merasa bahagia?

Di mana letak kebahagiaan Anda sesungguhnya? Apakah pada moleknya tubuh? ...Jelitanya rupa? ...Tumpukan harta?

....atau barangkali punya mobil mewah & tingginya jabatan?

Jika itu semua sudah Anda dapatkan, apakah Anda bisa memastikan bahwa Anda *akan* bahagia?

Hari ini saya akan mengajak Anda untuk melihat, kalau limpahan harta tidak selalu mengantarkan pada kebahagiaan

Dan ini kisah nyata...

Ada delapan orang miliuner yang memiliki nasib kurang menyenangkan di akhir hidupnya. Tahun 1923, para miliuner berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mereka adalah kumpulan orang-orang yang sangat sukses di zamannya.

Namun, tengoklah nasib tragis mereka 25 tahun sesudahnya!
Saya akan menyebutnya satu persatu :

=> Charles Schwab, CEO Bethlehem Steel, perusahaan besi baja ternama waktu itu. Dia mengalami kebangkrutan total, hingga harus berhutang untuk membiayai 5 tahun hidupnya
sebelum meninggal.

=> Richard Whitney, President New York Stock Exchange. Pria ini hrs menghabiskan sisa hidupnya dipenjara Sing Sing.

=> Jesse Livermore (raja saham "The Great Bear" di Wall Street), Ivar Krueger (CEO perusahaan hak cipta), Leon Fraser (Chairman of Bank of International Settlement),
ketiganya memilih mati bunuh diri.

=> Howard Hupson, CEO perusahaan gas terbesar di Amerika Utara. Hupson sakit jiwa dan meninggal di rumah sakit jiwa.

=> Arthur Cutton, pemilik pabrik tepung terbesar di dunia, meninggal di negeri orang lain.

=> Albert Fall, anggota kabinet presiden Amerika Serikat, meninggal di rumahnya ketika baru saja keluar dari penjara.

Kisah di atas merupakan bukti, bahwa kekayaan yang melimpah bukan jaminan akhir kehidupan yang bahagia!

Kebahagiaan memang menjadi faktor yang begitu didambakan bagi semua orang. Hampir segala tujuan muaranya ada pada kebahagiaan. Kebanyakan orang baru bisa merasakan *hidup* jika sudah menemukan kebahagiaan.

Pertanyaannya... di mana kita bisa mencari kebahagiaan? Apakah di pusat pertokoan? Salon kecantikan yang mahal? Restoran mewah? Di Hawaii? di Paris? atau di mana?

Sesungguhnya, kebahagiaan itu tdk perlu dicari kemana-mana... karena ia ada di hati setiap manusia.

Carilah kebahagiaan dalam hatimu!
Telusuri 'rasa' itu dalam kalbumu!
Percayalah, ia tak akan lari kemana-mana...

Hari ini saya akan berbagi tips bagaimana kita sesungguhnya bisa mendapatkan kebahagiaan *setiap hari*. Berikut adalah tips yang bisa Anda lakukan:

1. Mulailah Berbagi!
Ciptakan suasana bahagia dengan cara berbagi dengan orang lain. Dengan cara berbagi akan menjadikan hidup kita terasa lebih berarti.

2. Bebaskan hati dari rasa benci, bebaskan pikiran dari segala kekhawatiran.
Menyimpan rasa benci, marah atau dengki hanya akan membuat hati merasa tidak nyaman dan tersiksa.

3. Murahlah dalam memaafkan!
Jika ada orang yang menyakiti, jangan balik memaki-maki. Mendingan berteriak "Hey! Kamu sudah saya maafkan!!".

Dengan memiliki sikap demikian, hati kita akan menjadi lebih tenang, dan amarah kita bisa hilang. Tidak percaya? Coba saja! Saya sering melakukannya. :-)

4. Lakukan sesuatu yang bermakna.
Hidup di dunia ini hanya sementara. Lebih baik Anda gunakan setiap waktu dan kesempatan yang ada untuk melakukan hal-hal yang bermakna, untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Dengan cara seperti ini maka kebahagiaan Anda
akan bertambah dan terus bertambah.

5. Dan yang terakhir, Anda jangan terlalu banyak berharap pada orang lain, nanti Anda akan kecewa, Tapi Berharaplah Pada Tuhan...

Ingat, kebahagiaan merupakan tanggung jawab masing-masing, bukan tanggung jawab teman, keluarga, kekasih, atau orang lain.

Lebih baik kita perbanyak harap hanya kepada Yang Maha Kasih dan Kaya. Karena Dia-lah yang menciptakan kita, dan Dia-lah yang menciptakan segala 'rasa', termasuk rasa bahagia yang selalu Anda inginkan.


Sbr : Jesus Inspires

Jumat, Maret 06, 2009

Sejarah Pulau Borneo (Kalimantan)


Pulau Borneo (Kalimantan) merupakan pulau ketiga terbesar di dunia setelah Pulau Greenland dan Pulau Papua. Luas keseluruhan Pulau Borneo adalah 736.000 KM 2. Pulau Borneo terdapat juga lintasan pegunungan di sebelah timur laut dengan gunung tertinggi adalah Gunung Kinabalu dengan puncak setinggi 4.175 M. Pulau ini beriklim tropis basah dengan suhu rata-rata 24-25 derajat celcius dan dilewati oleh garis khatulistiwa.
Diketahui bahwa bangsa asing sudah berhubungan dengan penduduk di Pulau Borneo ini sejak sekitar abad ke-1 M.
Berdasarkan peninggalan-peninggalan artefak sejarah yang sempat ditemukan, bahwa artefak yang paling tua yang ditemukan di Pulau Borneo ini adalah artefak dari Kerajaan Kutei yaitu dari masa abad ke-4 M yang beraliran hindu, terletak di pesisir timur dari pulau ini. Bahkan berdasarkan temuan artefak sejarah ini, bahwa artefak Kerajaan Kutei adalah temuan artefak yang tertua di Nusantara ini.
Pada abad ke-8 M Kerajaan Sriwijaya pernah berpengaruh di sepanjang pesisir barat Pulau Borneo ini dan pada abad ke-14 M Kerajaan Majapahit berpengaruh hampir di seluruh Pulau ini.
Pada awal abad ke-16 M orang-orang eropa mulai berdatangan di Pulau Borneo ini.
Berdasarkan catatan orang eropa disebutkan bahwa orang eropa pertama yang mendatangi Pulau Borneo ini adalah orang Italia yang bernama Ludovico de Verthana yaitu pada tahun 1507 M yang kemudian dilanjutkan dengan orang Portugis yang bernama Laurenco de Gomez pada tahun 1518 M terus disusul oleh orang Spanyol yang bernama Ferdinand Magellen pada tahun 1519 yaitu dalam perjalanan mengelilingi dunia, baru kemudian disusul dengan Belanda, Inggris dan Prancis. Dari orang-orang Eropa inilah kemudian nama Borneo di kenal yaitu berasal dari sebutan orang-orang eropa itu terhadap nama Kerajaan Brunei, karena saat itu Kerajaan Brunei merupakan Kerajaan yang paling dominan / terbesar di pulau ini sehingga setiap orang asing yang datang di Pulau ini, akan mengunjungi Kerajaan Brunei sehingga kemudian nama Brunei menjadi ikon bagi pulau ini yang kemudian dipelatkan oleh lidah orang eropa menjadi Borneo yang kemudian terus dipakai hingga ke masa pendudukan kolonial Belanda yaitu “ Pulau Borneo “.
Pada tanggal 7 Juli 1607 Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin. Pada tahun 1612 di masa Sultan Mustain Billah, Belanda datang ke Banjarmasin untuk menghukum Kesultanan Banjarmasin dan menembak hancur Banjar Lama (kampung Keraton) di Kuin, sehingga ibukota kerajaan Banjar dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura. Berdasarkan dokumen yang ada bahwa perjanjian tertulis antara orang eropa dengan penduduk Pulau Borneo di lakukan pada tahun 1609 M yaitu perjanjian perdagangan antara perusahaan dagang Belanda yaitu VOC dengan Raja Panembahan Sambas yaitu Ratu Sapudak walaupun kemudian bahwa hubungan perdagangan antara kedua belah pihak ini tidak berkembang.
Perjanjian kesepakatan VOC yang kedua dengan Kerajaan di Pulau Borneo ini adalah dengan Kesultanan Banjarmasin yang ditandatangani pada tahun 4 September 1635 di masa Sultan Inayatullah. Isi kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjar untuk menghadapi serangan dari luar. Aktivitas VOC kemudian lebih berkembang di sebelah timur dibandingkan dengan sebelah barat Pulau Borneo yaitu karena sebelah timur Pulau Borneo berhampiran dengan pusat lada dunia yaitu Kepulauan Maluku.
Pada masa kedatangan orang-orang eropa ini yang dimulai pada awal abad ke-16 M itu hingga kemudian masa kolonialisme mereka sampai abad ke-20 M, Kerajaan-Kerajaan yang terkemuka di Pulau Borneo ini disamping Kesultanan Brunei yaitu Kesultanan Banjarmasin, Kesultanan Sukadana, kesultanan Sambas dan Kesultanan Pontianak.
Sehubungan dengan serangan Napoleon ke Belanda pada paruh ke-3 abad ke-18 M kemudian membuat seluruh kekuatan VOC di Nusantara ini termasuk di Borneo di tarik kembali ke Belanda dan posisi Belanda di Nusantara ini kemudian digantikan oleh Inggris.
Setelah selesai perang dengan Napoleon, Belanda kemudian menempati lagi posisinya di Nusantara ini termasuk di Pulau Borneo namun kali ini aktivitas Belanda tidak lagi atas nama VOC tetapi langsung oleh Kerajaan Belanda dengan nama Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1819 M Sultan Pontianak ke-3 (Sultan Syarif Usman Al Qadri) ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin Afdeling Pontianak.
Sampai tahun 1839 M, pengaruh kekuasaan di Pulau Borneo ini terbagi dalam 3 kawasan kekuasaan yaitu Sebelah barat daya di kuasai oleh Kesultanan Brunei, sebelah timur laut dikuasai oleh Kesultanan Sulu dan sebelah tengah dan selatan di kuasai Pemerintah Hindia Belanda yang sebagian besar wilayahnya diperolehnya dari Perjanjian Karang Intan antara Kesultanan Banjar dengan VOC tahun 1787. Sebagian besar wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu kemudian direbut oleh James Brooke yang menjadi Raja di Sarawak.
Aktivitas Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Borneo ini jauh lebih agresif daripada masa VOC yang lalu karena saat itu Belanda bersaing keras dengan Inggris dalam merebut pengaruh di Pulau Borneo ini apalagi setelah diangkatnya James Brooke (orang Inggris) yang menjadi Raja Putih di Sarawak pada tahun 1841.
Untuk mengantisipasi ekspansi pengaruh dari James Brooke ke wilayahnya, maka Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai tahun 1846 M mengadakan perjalanan Tim Ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda yang menyusuri seluruh tepi batas wilayahnya dengan wilayah yang dikuasai James Brooke. Tim Ekspedisi pertama dipimpin oleh Letnan II D. van Kessel yang menjelajahi arah barat dan kemudian dilanjutkan oleh Tim Ekspedisi yang dipimpin oleh Dr. CM. Schwaner yang menjelajahi arah timur.
Pada awalnya wilayah tengah dan selatan Pulau Borneo yang dikuasai Belanda ini dibagi oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam 3 Afdeling yaitu Afdeling Pantai Selatan dan Timur, Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak.
Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak menjadi bernama Borneo Westkust membagi secara keseluruhan wilayahnya terbagi dalam 2 wilayah administrasi yaitu Borneo Westkust (Borneo sebelah barat) dan Borneo Zuid Oostkust (Borneo sebelah tengah dan timur) nama ini selanjutnya berganti menjadi Borneo Westerafdeling dan Borneo ZuidOostterafdeling.
Pada akhir masa kolonialisme Belanda di Pulau Borneo ini terdapat 2 daerah Residentie yaitu Residentie Pontianak dan Residentie Banjarmasin.http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan#Geografi

Jumat, Januari 23, 2009

PERTAPAAN KARMEL ST. YOSEPH, KALIMANTAN TENGAH


PERTAPAAN KARMEL ST. YOSEPH
(Jln. Bukit Karmel No.1 Banturung, Tangkiling, Kalimantan Tengah)

Memandang indah ciptaan-Mu, merasakan kehangatan tangan-Mu, bersujud di kaki-Mu, terimakasih TUHAN atas semua yang Engkau berikan.

Pertapaan St. Yoseph di bukit Karmel, terletak 38 km dari Palangka Raya, umat Katolik maupun Non Katolik bisa berdoa dalam suasana hening. Tempat ziarah dan doa ini ditata dengan jalan salib untuk renungan yang diakhiri dengan berdoa di sebuah Gua yang merupakan replika dari Gua Tempat Tubuh Kristus diletakkan


Kamis, Januari 22, 2009

LATAR BELAKANG SEJARAH DAYAK

Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.
Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.
Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani. http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Dayak